Rabu, 14 Februari 2018

Sains dan Psudosains

Oleh: Iqbal Nurul Azhar & Diah Retna Yuniarti
Telah dipublikasikan pada jurnal ETIMON Volume II Nomor I 2012

Banyak pelajar  di dunia setelah bertahun-tahun belajar di sekolah masih belum memahami hakikat ilmu pengetahuan. Polling yang dilakukan oleh National Science Foundation adalah buktinya. Lembaga ini telah berulang kali menemukan fakta mencengankan  di Amerika Serikat,  ribuan orang masih tetap percaya bahwa matahari berputar mengelilingi bumi, bahwa dibutuhkan satu hari bagi bumi untuk berputar pada porosnya sambil lalu mengitari matahari, bahwa elektron lebih besar dari atom, dan suara yang ada di dunia ternyata  bergerak lebih cepat dari cahaya. Dari polling tersebut pula diketahui bahwa kebanyakan orang Amerika tidak tahu apa yang disebut sebagai molekul.  Rangkaiaan polling tersebut juga menemukan bahwa sekitar 19 persen guru biologi SMA percaya bahwa Dinosaurus dan manusia hidup pada waktu yang sama. Polling ini juga menjumpai fakta yang sangat mengejutkan bahwa 95 persen dari guru yang disurvei tampaknya salah paham tentanag apa itu ilmu pengetahuan. Guru-guru tersebut diberikan pernyataan untuk mereka tanggapi yaitu, “Para ilmuwan tugasnya adalah mencari fakta, tapi kadang-kadang yang terbaik yang mereka bisa lakukan adalah berteori.” Hanya 5 persen dari guru-guru yang dipolling tersebut yang  menjawab dengan benar bahwa pernyataan tersebut adalah “jelas salah.” (Gardner, 1983).

Di Indonesia, persentase siswa yang diajar kimia oleh guru yang tidak memiliki gelar dalam bidang kimia sangatlah tinggi. Guru-guru kimia tak bergelar sarjana Kimia tersebut sebenarnya bergelar, tapi sayangnya, gelar mereka adalah gelar pada bidang Fisika maupun Matematika. Guru mengajar lintas bidang studi jamak ditemukan. Alasan utama munculnya masalah ini adalah tentu saja terbatasnya guru kimia, dan adanya anggapan bahwa kimia bisa diajar oleh guru yang mengajar bidang lain asalkan berada dalam bidang yang serumpun. Intinya adalah, apapun ilmunya, asalkan ada penugasan, guru siap mengajar meskipun hasilnya pasti mengecewakan.

Kondisi lebih parah ada pada mata pelajaran bahasa Indonesia dan olahraga. Adanya anggapan bahwa mata pelajaran bahasa Indonesia dan olehraga dapat diajar oleh semua orang asal bergelar guru, menyebabkan banyak alumni sekolah dasar kurang mampu bersastra dan tentu saja fisik merekapun tidak bagus. Mereka salah berolahraga.

Suramnya dunia pendidikan semakin diperkeruh dengan berkeliarannya ilmu-ilmu pengetahuan yang melibatkan metafisika. Tarot, hipnotis, sulap dan banyak ilmu-ilmu lainnya di beritakan, baik itu di majalah cetak maupun televisi. Ilmu-ilmu metafisika ini dilegalkan dalam berbagai macam acara seperti the master, showimah, dan lainnya. Pada akhirnya masyarakatpun menjadi bingung untuk membedakan mana pengetahuan yang sebenarnya dan harusnya mereka pelajari dan mana pengetahuan tambahan.

Beberapa tokoh menyalahkan sistem pendidikan kita yang terkesan apa adanya. Lainnya menyalahkan media. Beberapa politisi relijius bahkan menyalahkan ilmu pengetahuan yang mereka anggap tidak sesuai dengan pandangan agama mereka. Apapun alasannya, banyak ilmuwan dan pembela ilmu pengetahuan yakin bahwa masyarakat  Indonesia, tiap tahunnya menjadi kurang dan kurang rasional. Kita mungkin hidup di zaman ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi sayangnya, banyak kepercayaan-kepercayaan liar yang notabene bukan berasan dari ilmu pengetahuan kita adopsi menjadi pengetahuan yang dipercayai banyak orang.

Paparan di atas pada akhirnya menarik perhatian kita pada dua definisi kritis akan ilmu pengetahuan yaitu “sains” (ilmu pengetahuan yang sesungguhnya) dan “pseudo sains” (ilmu pengetahuan tiruan). Untuk mendapatkan gambaran bagaimanakah hakikat ilmu pengetauan itu sesungguhnya serta perbedaan sains dan psudo sains, maka makalah berjudul sains dan Pseudo Sains dalam Perpektif Filsafat Ilmu inipun ditulis.
Hakikat Sains
Kata sains berasal dari bahasa Latin “scientia,” yang bermakna pengetahuan. Menurut New Collegiate Dictionary Webster, sains  adalah “pengetahuan yang diperoleh melalui studi atau praktek,” atau “pengetahuan yang meliputi kebenaran umum pengoperasian hukum umum, diperoleh dan diuji melalui metode ilmiah [dan] perduli pada bentuk fisik dunia. Dalam bahasa Arab, kata science diterjemahkan sebagai “ilmu.” Kata ilmu berasal dari bahasa Arab: ‘alima, ya’lamu,’ ilman dengan wazan fai’ila, yaf’alu, fa’lan, yang berarti mengerti, memahami benar-benar.

Sains adalah suatu alat, suatu cara khusus untuk menginvestigasi suatu pertanyaan. Ketika menginvestigasi suatu pertanyaan ilmiah, dibuat suatu hipotesis, dikumpulkan data-data, dan ahirnya hipotesis didukung atau ditolak. Ilmuwan tidak pernah takut salah. Pembuktian bahwa suatu hipotesis tidak benar adalah bagian dari pekerjaan ilmuwan. Adalah penting untuk menjawab pertanyaan tentang kehidupan dan alam disekitar kita secara ilmiah, sehingga akan banyak menghilangkan banyak keraguan.

Pembuktian ilmiah selalu diawali dengan pertanyaan, kemudian diikuti dengan pengumpulan informasi sebanyak mungkin untuk membangun sebuah hipotesis, atau setidaknya dugaan atau prediksi yang memiliki dasar informasi ilmiah. Langkah berikutnya adalah melakukan ekperimen untuk menguji hipotesis tersebut. Semua yang dilakukan dan diperoleh, menyenangkan atau tidak menyenangkan, tentu harus terdokumentasi dengan baik, kemudian dilaporkan sedemikian rupa sehingga mudah dipahami oleh orang lain. Pada ahirnya, sang ilmuwan harus membuat kesimpulan berdasarkan fakta yang diperoleh, apakah hipotesisnya diterima atau ditolak. Ilmuwan juga harus terbuka untuk berbagi dengan ilmuwan lain tentang eksperimen dan temuannya. Para ilmuwan dapat saling belajar dan sering memanfaatkan temuan ilmuwan lain untuk memandu pertanyaan penelitian selanjutnya.

Para ilmuwan juga sering mengulang eksperimen orang lain untuk memastikan apakah dengan kondisi yang sama akan diperoleh hasil yang konsisten. Verifikasi seperti ini merupakan mekanisme kendali mutu untuk meniadakan bias. Sebelum dipublikasi, hasil-hasil penelitian harus diverifikasi secara objektif oleh mitra-bestari yang terdiri dari pakar berbagai bidang terkait dari institusi yang berbeda.

Untuk mempetajam definisi sains, di bawah ini akan dipaparkan beberapa definisi sains oleh beberapa ilmuwan.

Gie (dalam Surajiyo, 2007) memberikan pengertian bahwa ilmu adalah rangkaian aktivitas penelaahan yang mencari penjelasan sesuatu metode untukmemperoleh pemahaman secara rasional empirismengenai dunia ini dalam berbagai seginya, dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang ingin dimengerti manusia. Dari aktivitas ilmiah dengan metode ilmiah yang dilakukan oleh para ilmuwan dapat dihimpun sekumpulan pengetahuan yang baru atau disempurnakan pengetahuan yang telah ada, sehingga di kalangan ilmuwan maupun para filsuf pada umumnya terdapat kesepakatan bahwa ilmu adalah sesuatu kumpulan pengetahuan yang sistematis.

Joesoef (dalam Surajiyo, 2007), menjelaskan bahwa definisi sains mengacu pada tiga hal yaitu (1) produk, (2) proses, dan (3) masyarakat. Ilmu pengetahuan sebagai produk yaitu pengetahuan yang telah diketahui dan diakui kebenarannya oleh masyarakat ilmuwan. Pengetahuan ilmiah dalam hal ini terbatas pada kenyataan-kenyataan yang mengandung kemungkinan untuk disepakati dan terbuka untuk diteliti, diuji, dan dibantah oleh seseorang.

Adapun menurut Bahm (dalam Surajiyo, 2007) definisi ilmu pengetahuan melibatkan paling tidak enam macam komponen, yaitu masalah (problem), sikap(attitude), metode(method), aktivitas(activity), kesimpulan(conclution), dan pengaruh (effects).

Ilmu harus diadakan melalui perantara  aktivitas manusia. Aktivitas ini harus dilakukan dengan metode tertentu, dan akhirnya aktivitas metodis itu mendatangkan pengetahuan yang sistematis. Atas dasar ini Gie (dalam Surajiyo, 2007) menyatakan bahwa  ilmu pengetahuan atau pengetahuan ilmiah itu mempunyai 5 ciri pokok antara lain:
  1. empiris, pengetahuan itu diperoleh berdasar pengamatan dan percobaan
  2. sistematis, berbagai keterangan dan data yang tersusun sebagai kumpulan pengetahuan itu mempunyai hubungan ketergantungan dan teratur
  3. objektif, ilmu berarti pengetahuan itu bebas dari prasangka perseorangan dan kekuasaan pribadi
  4. analitis, pengetahuan ilmiah berusaha membeda-bedakan pokok soalnya ke dalam bagian yang terperinci untuk memahami berbagai sifat, hubungan , dan peranan dari bagian-bagian itu.
  5. verifikatif, dapat diperiksa kebenarannya oleh siapapun juga.
Sifat ilmiah dalam ilmu dapat diwujudkan, apabila dipenuhi syarat-syarat  yang intinya adalah :
  1. ilmu harus mempunyai objek, berarti kebenaran yang hendak diungkapkan dan dicapai adalah persesuaian antara pengetahuan dan objeknya
  2. ilmu harus mempunyai metode, berarti untuk mencapai kebenaran yang objektif, ilmu tidak dapat bekerja tanpa metode yang rapi
  3. ilmu harus sistematik, berarti dalam memberikan pengalaman, objeknya dipadukan secara harmonis sebagai suatu kesatuan yang teratur
  4. ilmu bersifat universal, berarti kebenaran yang diungkapkan oleh ilmu tidak bersifat khusus melainkan berlaku umum.  (Kasmadi dalam Fuad, 2010:115-116).

B.  Perbedaan Sains dan Knowledge (Pengetahuan)

Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa kata ilmu dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab ‘ilm (pengetahuan) kata benda (mashdar) dari kata ‘alima yang berarti tahu, sedangkan istilah science dalam bahasa Inggris berasal dari perkataan latin scientia yang diturunkan dari kata scio, scire yang artinya to know (mengetahui) dan juga berarti to learn (belajar). Dari pengertian etimologis itu science, maupun ‘ilm memiliki makna yang sama yaitu pengetahuan.

Meskipun secara etimologis science berarti pengetahuan yang berarti sama dengan dalam bahasa Inggris knowledge (pengetahuan), namun science dibedakan dengan knowledge pada tingkat terminologis. Secara terminologis science bukan hanya sekedar pengetahuan (knowledge), tapi pengetahuan yang mempunyai cirri-ciri tertentu. Mengingat perbedaan tersebut maka dalam bahasa Indonesia ada usaha untuk membedakannya dimana science diterjemahkan menjadi ilmu atau ilmu pengetahuan, untuk membedakannya dari kata knowledge yang diterjemahkan dengan pengetahuan.

Peradaban Barat membedakan pengetahuan ke dalam dua istilah teknis, yaitu science dan knowledge. Istilah yang pertama diperuntukkan bagi bidang-bidang ilmu nonfisik atau empiris, sedangkan istilah yang kedua diperuntukkan bagi bidang-bidang ilmu nonfisik seperti konsep mental dan metafisika. Istilah yang pertama diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan ilmu pengetahuan, sementara istilah yang kedua diterjemahkan dengan pengetahuan saja. Dengan kata lain, hanya ilmu yang sifatnya fisik atau empiris saja yang bias dikategorikan ilmu, sementara sisanya seperti ilmu agama, tidak bias dikategorikan ilmu (ilmiah).

Fenomena seperti ini baru terjadi pada abad modern karena sampai abad pertengahan, pengetahuan belum dibeda-bedakan ke dalam dua istilah teknis diatas, istilah pengetahuan (knowledge) masih mencakup semua jenis ilmu pengetahuan. Baru ketia memasuki abad modern yang ditandakan dengan positivisme, maka pengetahuan yang terukur secara empiris dikhususkan dengan penyebutan scientific knowledge atau science saja.

Hakikat Psudosains
Non-sains adalah kumpulan pandangan yang berada di luar lingkup ilmiah. Wilayah non-sains seperti seni, nilai, kreatifitas, spiritualitas, adalah sangat sahih, dan bagi banyak orang, merupakan aspek yang sangat penting dari eksistensi manusia. Subyek non-sains biasanya mudah dipisahkan dari sains.
Pseudo-sains terjadi ketika hal-hal non-sains dicoba untuk dinyatakan sebagai sains ketika terjadi masalah atau keraguan. Pseudo-sains muncul ketika ada yang mengklaim bahwa telah dibuktikan secara ilmiah, Padahal sebenarnya tidak. Keyakinan dan kepercayaan kadang-kadang menjadi pseudo-sains ketika ada orang yang berusaha mempopulerkan suatu keyakinan atau kepercayaan sebagai sesuatu fakta yang sudah terbukti secar ailmiah. Argumentasi seperti ini seringkali muncul ketika sains belum dapat menemukan jawabannya, kemudian diambil kesimpulan bahwa satu-satunya jawabannya adalah Tuhan. Terlepas dari masalah keyakinan dan kepercayaan tersebut, masih banyak hal-hal termasuk dalam pseudo-sains, seperti adanya UFO dan hantu, yang sampai saat ini belum terdapat bukti kuat secara ilmiah.

Pseudosains (Pseudoscience) adalah suatu istilah yang digunakan untuk merujuk pada suatu bidang yang menyerupai ilmu pengetahuan namun sebenarnya bukan merupakan ilmu pengetahuan. Sesuatu yang menyerupai ilmu pengetahuan ini tidak valid dan memiliki banyak kekurangan, tidak rasional dan cenderung dogmatis. Dengan kata lain sains ini adalah sains palsu (Ridwan, 2011).
Munculnya kata psudo pada pseudosains dimaksudkan untuk menghina. Kesan menghina ini muncul karena kata psudo pada hakikatnya memiliki kesamaan dengan beberapa frasa menghina lainnya seperti “ilmu alternatif” “ilmu palsu” atau “ilmu sampah.”

Karakteristik kunci dari pseudosains adalah bahwa hal itu tidak sesuai dengan metode ilmiah. Ini berarti bahwa klaim ilmu ini terhadap suatu hal tidak dapat diuji, dan tidak mengikuti urutan logis. Banyak konsep-konsep ilmiah tidak dapat diuji dengan peralatan yang ada. Pseudosains tidak memiliki dukungan ilmiah, dan tidak dapat diuji.

Karakter yang kedua adalah kurangnya testability dan konfirmasi independen. Ilmuwan sejati selalu senang untuk berbagi data yang telah mereka dapatkan dalam penelitian. Data ini digunakan untuk sampai pada kesimpulan mereka. Pengujian independen dan kritik dari keolega sesama ilmuwan akan selalu mereka nanti. Kritik dan sanggahan tersebut dapat dijadikan sebagai alat utama untuk membuktikan teori-teori mereka. Masyarakat pseudosains dilaion pihak biasanya menolak sanggahan. Mereka lebih memilih untuk mencari bukti-bukti untuk menguatkan klaim-klaim tertentu. Jeleknya, masyarakat ini tidak terbuka terhadap pengawasan dari koleganya atau terhadap diskusi.

Yang sangat merepotkan adalah jika ada pihak-pihak yang menggunakan pendekatan pseudo-sains untuk kepentingan tertentu, termasuk komersial, politik, dan keamanan. Belakangan ini kita banyak dihadapkan pada klaim-klaim pihak tertentu yang mampu menghasilkan produk-produk unggul yang dapat memecahkan permasalahan yang sedang dihadapi, seperti bahan bakar, produk pertanian, produk obat, sampai produk elektronik yang dikenal sebagai sms-santet. Diperlukan scientific wisdom yang memadai untuk dapat memberikan pertimbangan obyektif terhadap hal-hal tersebut.

Sains dan Psudosains: Dua Hal yang Berbeda
Secara umum, sains dan psudosaaians berbeda. Perbedaan ini secara jelas dapat dilihat pada tujuh poin berikut:

Pertama, dalam sains, literatur-literatur ilmiah yang ada ditulis bagi para ilmuwan. Untuk menciptakan literatur harus ada peer review. Terdapat standar yang ketat untuk kejujuran dan akurasi. Dalam pseudosains,  literatur-literatur yang ada ditujukan untuk masyarakat umum. Tidak ada review, dalam membuat literatur tersebut,  tidak ada standar serta tidak ada verifikasi pra-publikasi. Meskipun demikian masih terdapat tuntutan terhadap akurasi dan presisi literatur.

Kedua, dalam sains, produk-produk ilmiah dapat direproduksi. Masyarakat menuntut hasil yang dapat diandalka. Segala eksperimen yang dilakukan harus dapat dijelaskan dengan tepat sehingga eksperimen tersebut  dapat diulangi secara presisi. Pengulangan ini dilakukan dalam rangka perbaikan hasil atau penerapan dalam kasus atau peristiwa lainnya. Sedangkan dalam pseudosains,  produk-produk psudo tidak dapat direproduksi atau diverifikasi. Meskipun ada studi atau eksperimen, tetapi begitu samar-samar digambarkan. Studi atau eksperimen tersebutpun prosedurnya kurang jelas sehingga masyarakat umum tidak mengetahui apa yang sebenarnya dilakukan dalam studi atau eksperimen atau bagaimana hal itu dilakukan dalam studi atau eksperimen.

Ketiga, dalam sains, kegagalan dalam satu studi memang selalu dicari, karena teori-teori yang salah seringkali dapat membuat prediksi yang tepat meskipun itu karena faktor kebetulan. Dengan kegagalan ini akan tercipta teori yang benar. Ketika teori yang benar telah ditemukan prediksi yang dibuatkun tidak akan salah. Dalam pseudosains kegagalan akan selalu diabaikan, dimaafkan, disembunyikan, tidak dihitung,  dirasionalisasikan agar selalu benar, dilupakan, dan dihindari.

Keempat, dalam sains, seiring dengan berjalannya waktu, semakin banyak orang yang belajar tentang proses fisik dalam berbagai penelitian. Dalam pseudosains tidak ada fenomena ataupun proses fisik yang ditemukan, dicatat atau dipelajari. Tidak ada kemajuan yang dibuat, Tidak ada hal konkrit yang dipelajari.

Kelima, dalam sains, kelebihan, kekurangan, kesalahan dan blunder peneliti rata-rata tidak mempengaruhi “sinyal” keilmiahan studi. Dalam pseudosains, kelebihan, kekurangan, kesalahan dan blunder peneliti memberi pengarauh nol pada keilmiahan studi karena memang studi yang dilakukan tidak ilmiah sama sekali.

Keenam, dalam sains, masyarakat diyakinkan dengan bukti-bukti ilmiah,  argumen-argumen berdasarkan penalaran logis dan/atau matematika, dengan membuat kasus-kasus berdasarkan bukti-bukti empirik. Ketika bukti-bukti baru bertentangan dengan ide-ide/teori-teori lama, ide-ide/teori-teori lama tersebut ditinggalkan. Dalam pseudosains keyakinan masyarakat dibuat oleh iman dan keyakinan. Dalam hampir setiap kasus pseudosains memiliki unsur kuasi-religius yang sangat kuat. Pseudosains memiliki sifat mencoba untuk mengubah, bukan untuk meyakinkan. Masyarakat diminta untuk percaya lepas dari fakta, bukan karena mereka. Ide lama tidak pernah ditinggalkan meskipun  bukti bukti baru ditawarkan.

Ketujuh, dalam sains, tidak ada konflik kepentingan, ilmuwan tidak memiliki orientasi materi tertentu dari studi yang dikerjakannya. Ini sangata berbeda dengan “Sains Sampah,”, yang mana ilmuwan memproklamirkan diri mereka sebagai ilmuwan,  tetapi sebenarnya  mereka dibayar dan bayaran mereka akan mereka dapatkan ketika hasail studi mereka sesuai dengan keinginan pihak-pihak tertentu. Dalam pseudosains terdapat konflik kepentingan ekstrim. Ilmuwan pseudo umumnya mendapatkan nafkah dengan menjual layanan pseudosains misalnya horoskop, prediksi, instruksi dalam mengembangkan kekuatan paranormal, dll.

Contoh-contoh Pseudosains.
Untuk tuntutan memenuhi syarat sebagai “ilmu” harus memenuhi standar tertentu. Misalnya, tuntutan harus dapat direproduksi oleh orang lain yang tidak memiliki kepentingan apakah hal itu benar atau salah. Data dan penafsiran yang berikutnya terbuka untuk pengamatan dalam lingkungan sosial di mana tidak salah telah membuat kekeliruan, tetapi tidak dibolehkan tidak jujur atau menipu. Klaim yang disajikan sebagai ilmiah tapi tidak memenuhi standar ini adalah yang kita sebut pseudosains. Dalam dunia pseudosains, keraguan dan tes terhadap salahnya yang mungkin dikurangi atau dengan tegas diabaikan.

Contoh pseudosains berlimpah. Astrologi adalah sebuah sistem kepercayaan kuno yang beranggapan masa depan seseorang ditentukan oleh posisi dan pergerakan planet-planet dan benda langit lainnya. Astrologi meniru ilmu pengetahuan dalam memprediksi dimana astrologi didasarkan pada pengamatan astronomi yang hati-hati. Namun perbintangan bukan ilmu pengetahuan karena tidak ada validitas untuk mengklaim bahwa posisi benda-benda langit mempengaruhi peristiwa-peristiwa kehidupan seseorang. Seperti kita ketahui, gaya gravitasi yang diberikan oleh benda angkasa pada seseorang lebih kecil daripada gaya gravitasi yang diberikan oleh benda-benda yang membentuk lingkungan duniawi: pohon, kursi, orang lain, batang sabun, dan sebagainya. Selanjutnya, prediksi astrologi tidak terbukti karena tidak ada bukti bahwa astrologi bekerja.

Manusia sangat baik dalam penyangkalan, yang mungkin menjelaskan mengapa pseudosains adalah suatu bisnis yang berkembang. Banyak pseudosaintiawan sendiri tidak mengenali upaya mereka sebagai pseudosains. Seorang praktisi dari “penyembuhan” misalnya, benar-benar dapat percaya pada kemampuan dirinya untuk menyembuhkan orang-orang yang tidak akan pernah bertemu kecuali melalui email dan pertukaran kartu kredit. Dia bahkan dapat menemukan bukti anekdot untuk mendukung perselisihan yang terjadi dirinya. Efek plasebo dapat menutupi ketidakefektifan berbagai model penyembuhan. Dalam hal tubuh manusia, apa yang orang percaya akan sering terjadi bisa terjadi, karena adanya koneksi fisik antara pikiran dan tubuh.

Teori aktivasi otak tengah mengklaim bahwa aktifasi otak tengah dapat meningkatkan kecerdasan berfikir, emosi dan motivasi seseorang. Kenyataannya adalah: otak tengah tidak memiliki fungsi berpikir, emosi, dan motivasi. Otak tengah yg merupakan bagian dari batang otak memiliki fungsi otak primitive yaitu mekanisme pertahanan diri dan refleks-refleks pada fungsi vegetative. Sedangkan kemampuan berpikir, proses belajar, dan memori terutama terletak pada korteks dan subkorteks. “Teori otak tengah sudah jelas penipuan. Dengan berpikir atau bertanya sedikit,setiap orang bisa tahu bahwa ini adalah penipuan. Namun orang Indonesia itu malas bertanya dan ingin yang serbainstan. Termasuk kaum terpelajar dan orang berduitnya. Jadi kita gampang sekali jadi sasaran penipuan. Bahkan, saya pernah memergoki, di sebuah gedung pertemuan (kebetulan saya ke sana untuk keperluan lain), sebuah pelatihan diselenggarakan oleh sebuah instansi pemerintah yang judulnya “Meningkatkan Kecerdasan Salat”. Semuanya dijual sebagai pelatihan dengan biaya (istilah mereka “biaya investasi”) yang mahal. Ini sudah masuk ke masalah membohongi publik, sebab mana mungkin dengan satu pelatihan selama dua hari seorang anak bisa disulap menjadi jenius yang serbabisa, bahkan bisa melihat di balik dinding seperti Superman”.

Terapi urin menjadi tren 10 tahun yang lalu, sampai buku terapi urin banyak diterbitkan dan didisplay di Gramedia. Namun sekarang tampaknya trennya sudah berakhir, tidak ada lagi orang yang mau minum urin paginya. Pada kenyataannya urine (air kencing) adalah hasil eksresi (buangan) dari tubuh manusia yang tidak lagi dibutuhkan oleh tubuh manusia.

Food combining dan diet berdasar golongan darah: teori food combining mengungkapkan bahwa makan karbohidra harus terpisah dari protein dan lemak. Pagi makan karbohidrat, siang lemak, malam protein. Makan buah dan sayuran harus dalam keadaan perut kosong. Pada kenyataannya, teori food combining dan diet berdasar golongan darah tidak memiliki dasar ilmiah yang benar dan tidak diakui oleh para ahli gizi di perguruan tinggi. Saluran cerna manusia mengeluarkan enzim untuk pencernaan KH, protein, dan lemak secara bersama-sama sehingga tidak perlu adanya pemisahan zat makanan. Pemberian buah dan serat dalam keadaan perut kosong dapat menyebabkan iritasi pada saluran cerna dan hal ini menyebabkan tidak terbentuknya feses yang bagus konsistensinya.

Simpulan
Pengetahuan banyak bentuknya, ada yang sistematis, logis dan ilmiah. Dengan paparan Sains dan Pseudosains di atas, terdapat beberapa pengetahuan yang tidak termasuk dalam keduanya, yaitu pengetahuan agama, seni, dan lainnya. Untuk mendapatkan kejelasan perbedaan diantara hal tersebut, berikut perbandingan pengertian sains, non sains, dan pseudosains.

Sains adalah suatu alat, suatu cara khusus untuk menginvestigasi suatu pertanyaan. Ketika menginvestigasi suatu pertanyaan ilmiah, dibuat suatu hipotesis, dikumpulkan data-data, dan ahirnya hipotesis didukung atau ditolak. Ilmuwan tidak pernah takut salah. Pembuktian bahwa suatu hipotesis tidak benar adalah bagian dari pekerjaan ilmuwan. Adalah penting untuk menjawab pertanyaan tentang kehidupan dan alam disekitar kita secara ilmiah, sehingga akan banyak menghilangkan banyak keraguan. Pembuktian ilmiah selalu diawali dengan pertanyaan, kemudian diikuti dengan pengumpulan informasi sebanyak mungkin untuk membangun sebuah hipotesis, atau setidaknya dugaan atau prediksi yang memiliki dasar informasi ilmiah. Langkah berikutnya adalah melakukan ekperimen untuk menguji hipotesis tersebut. Semua yang dilakukan dan diperoleh, menyenangkan atau tidak menyenangkan, tentu harus terdokumentasi dengan baik, kemudian dilaporkan sedemikian rupa sehingga mudah dipahami oleh orang lain. Pada ahirnya, sang ilmuwan harus membut kesimpulan berdasarkan fakta yang diperoleh, apakah hipotesisnya diterima atau ditolak. Ilmuwan juga harus terbuka untuk berbagi dengan ilmuwan lain tentang eksperimen dan temuannya. Para ilmuwan dapat saling belajar dan sering memanfaatkan temuan ilmuwan lain untuk memandu pertanyaan penelitian selanjutnya. Para ilmuwan juga sering mengulang eksperimen orang lain untuk memastikan apakah dengan kondisi yang sama akan diperoleh hasil yang konsisten. Verifikasi seperti ini merupakan mekanisme kendali mutu untuk meniadakan bias. Sebelum dipublikasi, hasil-hasil penelitian harus diverifikasi secara objektif oleh mitra-bestari yang terdiri dari pakar berbagai bidang terkait dari institusi yang berbeda.

Non-sains adalah kumpulan pandangan yang berada diluar lingkup ilmiah. Wilayah non-sains seperti seni, nilai, kreatifitas, spiritualitas, adalah sangat sahih, dan bagi banyak orang, merupakan aspek yang sangat penting dari eksistensi manusia. Subyek non-sains biasanya mudah dipisahkan dari sains.
Pseudo-sains pengetahuan non-sains dicoba untuk dinyatakan sebagai sains ketika terjadi masalah atau keraguan. Pseudo-sains muncul ketika ada yang mengklaim bahwa telah dibuktikan secara ilmiah, Padahal sebenarnya tidak. Keyakinan dan kepercayaan kadang-kadang menjadi pseudo-sains ketika ada orang yang berusaha mempopulerkan suatu keyakinan atau kepercayaan sebagai sesuatu fakta yang sudah terbukti secar ailmiah. Argumentasi seperti ini seringkali muncul ketika sains belum dapat menemukan jawabannya, kemudian diambil kesimpulan bahwa satu-satunya jawabannya adalah Tuhan.

Referensi
Gardner, Martin.1983. The WHYS of a Philosophical Scrivener. Quill.

Ihsan Fuad. 2010. Filsafat Ilmu, Jakarta : Rineka Cipta, 2010.

Surajiyo. 2007. Filsafat ilmu dan perkembangannya di Indonesia. Jakarta : Bumi Aksara., p. 59

Ridwan, Fendy. 2011. Pseudosains. artikel dalam http://www.filsafatilmu.com . Diakses tanggal 11 Oktober 2012. Jam 13.00

http://icanologi.blogspot.com/2011/09/pseudosains.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Geliat Ide Guru Peneliti

Tumbuhnya Gagasan Seputar   Guru Peneliti Untuk meningkatkan kualitas tenaga pendidik, guru yang sudah memperoleh sertifikasi dan tun...