Senin, 19 Februari 2018

Geliat Ide Guru Peneliti

Tumbuhnya Gagasan Seputar  Guru Peneliti
Untuk meningkatkan kualitas tenaga pendidik, guru yang sudah memperoleh sertifikasi dan tunjangan guru akan tetap dipantau. Pemantauan termasuk juga pemberikan pelatihan metode pengajaran, materi pengajaran, dan melakukan penelitian.

Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo menilai perlu ada kebijakan yang mendorong guru dan dosen untuk mengembangkan diri dengan melakukan penelitian. ”Pelan-pelan dirumuskan sambil menunggu proses sertifikasi selesai,” kata Bambang Sudibyo seusai meresmikan perluasan perpustakaan Departemen Pendidikan Nasional, Kamis (8/10).

Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi, Jumat (9/10), mengingatkan perlunya pengawasan kinerja guru.

”Peningkatan mutu dan profesionalisme guru tidak boleh berhenti pada program sertifikasi. Kepala sekolah juga bisa memperketat rekomendasi kenaikan pangkat jika kinerja guru tidak maksimal,” katanya.

Rektor Universitas Indonesia Prof Dr Gumilar Rusliwa Somantri mengingatkan komitmen meningkatkan kualitas guru tidak bisa hanya mengandalkan tekad pribadi saja, tetapi juga perlu ada dorongan dari sekolah dan pemerintah.


”Sertifikasi itu tidak cukup hanya tes evaluasi, tetapi tetap harus ada pelatihan rutin sehingga akan terlihat kekuatan dan kelemahan masing-masing,” ujar Gumilar.

Gumilar mengusulkan ada semacam pemberian penghargaan dan sanksi hukuman (reward and punishment) yang jelas terhadap guru. Secara bertahap guru diawasi oleh kepala sekolah dan kepala sekolah diawasi oleh pengawas sekolah.

Senior Consultant Putera Sampoerna School of Education, S Gopinathan, mengatakan, meningkatkan kualitas guru antara lain dengan menciptakan tradisi penelitian. Berbagai persoalan seputar pendidikan tidak kunjung jelas karena minimnya penelitian kependidikan. ”Selama ini sebagian besar tenaga pendidik hanya memusatkan perhatian pada peningkatan kemampuan mengajar saja,” ujarnya. Padahal tenaga pendidik harus tahu masalah yang dihadapi anak didik.

Penelitian-penelitian yang dilakukan guru selama ini masih minim karena guru kekurangan waktu meneliti akibat waktunya habis untuk mengajar. Hal itu dikatakan Pustakawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Rosa Widyawan.

"Penelitian yang sering ditemukan masih sebatas penelitian tindakan kelas (PTK). Namun persoalan riil yang terjadi di kalangan siswa masih jarang," katanya, di Semarang, Jawa Tengah, Rabu (7/3/2012).

Padahal, kata Rosa, persoalan-persoalan riil yang terjadi di kalangan siswa seperti tawuran, perilaku anak-anak yang membolos justru lebih mengena dan membutuhkan langkah penyelesaian secara optimal melalui penelitian mendalam.

Ia menjelaskan, riset-riset yang dilakukan guru masih sebatas penelitian tindakan (action). Akan tetapi, penelitian yang sifatnya aplikatif belum banyak dilakukan sehingga akan memengaruhi prestasi belajar siswa di sekolah.

"Kalau secara kuantitas, sebenarnya ada sekitar 4.000 an hasil riset guru yang ada di LIPI. Namun secara kualitas dan kontinuitas memang tidak banyak. Akibatnya, riset-riset guru ’mati suri’, tidak berkelanjutan," katanya.

Rosa yang juga aktif meneliti kajian jurnal itu mengemukakan, hasil riset yang dilakukan guru seharusnya masuk dalam jurnal sebagai tempat mengomunikasikan hasil-hasil kajian dengan berbagai pihak untuk ditindaklanjuti.

Menurutnya, gejala-gejala sosial yang terjadi di kalangan siswa, misalnya tawuran, perilaku bolos sekolah, prestasi akademik menurun memerlukan penanganan secara khusus yang tidak mungkin mengandalkan kemampuan umum guru.

"Sebagai contoh profesi dokter, penanganan penyakit diabetes tentunya tidak mungkin mampu dilakukan oleh seluruh dokter, namun dokter yang ahli di bidang itu. Demikian juga kondisinya dengan profesi guru," papar Rosa.

Dari hasil-hasil kajian terhadap gejala sosial di kalangan siswa, lanjut Rosa, ke depannya diharapkan mampu membekali guru dengan keterampilan-keterampilan tertentu untuk mengatasinya secara lebih efektif.

"Tentunya, masalah yang dihadapi akan berbeda dan semakin berkembang. Ini memerlukan riset guru untuk membantu menemukan solusi pemecahan masalah. Namun, yang terpenting untuk mengawalinya guru harus ’melek’ informasi," kata Rosa.

Action Research penelitian tindakan, para taraf dunia sesungguhnya bukan kegiatan baru. Hal ini setidaknya telah dilakukan para profesional Amerika Serikat sejak tahun 1940-an. Penelitian ini, umumnya digunakan mereka untuk memecahkan masalah-masalah teknis yang dihadapi mereka di lapangan.

Penelitian dimaksud, sifatnya sederhana. Mengapa? Karena penelitian ini, umumnya hanya berisi soal perencanaan tentang sesuatu yang bersipat teknis. Penelitian tindakan [action research] hanya memuat soal perencanaan teknis, lalu direfleksi dan kemudian disusunlah laporan. Isi laporan itu, memuat tentang cara menyelesaikan soal teknis yang ditemukan mereka di lapangan.

Penelitian Tindakan, di Indonesia, mulai ramai dalam beberapa tahun terakhir. Dinamika penelitian ini, tampak semakin semarak, khususnya di kalangan guru, ketika penelitian tindakan muncul sebagai persyaratan bagi guru unruk naik pangkat misalnya. Maka, sejak saat itu, penelitian tindakan yang sebelumnya, biasa aja, mejadi ramai. Dalam kasus tertentu, malah seolah terjadi distorsi. Misalnya ada anggapan bahwa Penelitian tindakan, seolah hanya Penelitian Tindakan Kelas [PTK].

Tidak salah memang, tetapi kurang tepat. Mengapa? Sebab PTK adalah bagian dari penelitian tindakan. Masih banyak penelitian tindakan lain, yang tidak termasuk ke dalam Penelitian Tindakan Kelas. Lepas dari berbagai soal dimaksud, apa sesungguhnya penelitian tindakan kelas. Berikut adalah gambaran umum tentang PTK.

Landasan Guru Menyusun PTK
Persoalannya sekarang, mengapa guru harus meneliti? Keharusan ini, tampak semakin serius ketika pemerintah mengeluarkan UU Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen. UU ini, disusul dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2006 tentang standarisasi pendidikan. Belakangan, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah. PP dimaksud, yakni  Peraturan Nomor 16 tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya.

Melalui UU dan Peraturan di atas, guru tidak hanya mengajar. Ia dituntut melakukan langkah-langkah strategis untuk meningkatkan kualitas dirinya dan secara otomatis kualitas pembelajarannya. Fungsi dan peran guru, dengan demikian, juga menjadi berubah.

Dengan nalar di atas, langkah-langkah yang harus dilakukan guru adalah sebagai berikut: 1). Melaksanakan pengembangan diri melalui kegiatan diklat fungsional dan kegiatan kolektif guru; 20. Melaksanakan publikasi ilmiah hasil penelitian atau gagasan inovatif, publikasi buku teks pembelajaran/modul  dan; 3). Pelaksanaan karya inovatif [penemuan penelitian tepat guna, penemuan/penciptaan atau pengembangan karya seni, pembuatan/pemodifikasian alat peraga, penyusunan standar dan pedoman.

Tujuan Penelitian
Dalam skenario UU dan Peraturan di atas, sebenarnya ada dua jenis penelitian yang semestinya dilakukan guru. Pertama. Penelitian Tindakan Kelas [clasroom action research], dan; Kedua, penelitian untuk meningkatkan kualitas tujuan instruksional [research for instructional quality improvement]. Kedua penelitian ini memiliki tujuan penelitian yang sama, yakni: 1) Memperbaiki proses instruksional dan kurikulum, 2) Meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah, 3) Pengembangan staff [staff develovement].

Jadi, penelitian yang dilakukan guru, semata-mata bukan untuk meningkatkan pengembangan keilmuan yang sipatnya umum, tetapi, lebih bersipat teknis pada apa yang menjadi kewajibannya sebagai pendidik dan tenaga kependidikan.

Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh guru ketika melakukan penelitian tindakan kelas adalah sebagai berikut: 1) Meningkatkan kompetensi guru dalam mengatasi masalah pembelajaran; 2) Meningkatkan sikap profesional guru; 3) Meningkatkan interaksi antara siswa dan guru; 4) Meningkatkan kualitas penggunaan media dan alat bantu pembelajaran di dalam kelas.

Apa Yang Harus Diteliti Guru
Mencermati tujuan dan manfaat penelitian tindakan yang dilakukan guru, maka, sebaiknya ketika guru akan melakukan penelitian tindakan kelas, memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1) Penelitian mesti fokus pada masalah siswa ketika menghadapi masalah di dalam kelas, 2) Penelitian mesti fokus pada desain dan strategi pembelajaran guru di dalam kelas, 3) Penelitian mesti fokus pada pengujian alat bantu, media dan sumber pembelajaran di dalam kelas, 4) Fokus pada sistem evaluasi proses pembelajaran dan hasil belajar, 5) Fokus pada pengembangan pribadi peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan.

Dengan berbagai deskripsi di atas, guru diharapkan fokus melakukan penyelesaian pada sejumlah hambatan yang dihadapinya di dalam kelas. By. Prof. Cecep Sumarna Sederhananya, penelitian guru adalah inkuisi sistemati dan intensional yang dilakukan oleh guru. Teacher Research merupakan istilah umum, Umbrella term, yang menaungi berbagai macam penelitian yang dilakukan oleh guru. Istilah lain yang juga popular adalah Action research, yakni riset komparatif atas berbagai kondisi dan dampak dari beragam tindakan sosial, dan riset yang diarahkan kepada tindakan sosial. Apapun itu namanya, penelitian guru merupakan salah satu bentuk professional development dengan harapan adanya peningkatan kualitas mengajar guru yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas proses belajar siswa. Terus dalam praktiknya, tujuan penelitian itu apa? Apakah untuk membuktikan kehebatan sebuah strategi, metode, atau bahan ajar dalam meningkatkan prestasi siswa (Prestasi = nilai), atau untuk memahami misteri dan dinamika yang terjadi dalam proses pembelajaran sehingga guru semakin mamahami konteks pembelajaran yang dijalankan?

Selama puluhan tahun, belajar dan pembelajaran yang dilakukan guru telah menjadi topik penelitian yang menarik dikalangan para ilmuwan. Dalam perkembangannya, ada dua paradigma yang mendominasi penelitian bidang pendidikan, khususnya pembelajaran. Paradigma yang pertama disebut dengan process product research, yakni penelitian yang bertujuan untuk mengeksplorasi efektititas kegiatan pembelajaran tertentu dengan cara menghubungkan perilaku guru atau proses mengajar guru dengan perilaku siswa sebagai hasil belajar.

Paradigma ini memandang kegiatan pembelajaran sebagai sebuah proses cause and effect dimana perilaku guru dianggap sebagai penyebab munculnya perilaku siswa. Strategi mengajar yang guru terapkan akan berdampak pada prestasi belajar siswa. Jadi, paradigma ini lebih menekankan pada tindakan guru, bukan bagaimana guru memahami proses pembelajaran. Teaching yang guru jalankan menjadi perhatian utama dibanding learning yang siswa lakukan.

Dalam praktiknya, penelitian guru yang merujuk pada paradigma ini tidak dilakukan oleh guru, melainkan oleh peneliti yang berasal dari luar lingkup sekolah, biasanya dosen dari kampus. Meskipun dosen dan guru bekerjasama, dalam praktiknya, dosenlah yang lebih dominan karena dosen yang menentukan segala sesuatunya terkait dengan riset tersebut. Sementara guru hanyalah mitra kerja yang tugasnya hanya menjalankan apa yang sudah didisain oleh dosen. Karean tujuannya untuk pembuktian, metode penelitian yang umum digunakan adalah experimental quantitative.

Paradigma ini menganggap guru adalah bagian dari objek yang harus diteliti. Karena guru objek, maka peranan guru tidak lebih dari sekedar teknisi yang tugasnya hanya menerapkan apa yang peneliti tetapkan. Guru dipandang sebagai praktisi murni yang tak memiliki kapasitas untuk menjadi knowledge generator. Temuan dari penelitian ini adalah pengetahuan baru berupa bukti akan efektifitas tindakan tertentu tentang praktik pembelajaran dan tugas guru adalah menerima dan menerapkan hasil temuan tersebut.

Karena metode penelitian ini experimental quantitative dengan tujuan menguji hipotesa dan didesain dengan pemilihan sampel yang sangat seksama, dengan tujuan agar sampel yang digunakan mampu mewakili populasi, maka peneliti sering mengkalim bahwa hasil temuannya bisa digeneralisir, yakni bisa diterapkan pada lingkup yang berbeda. Jika hasil penelitian menunjukan bahwa strategi belajar A mampu meningkatan kemampuan siswa di kelas B, maka strategi itupun dianggap akan menghasilkan efetifitas yang sama ketika diterapkan di kelas C, D, dan yang lainnya.

Paradigma penelitian pendidikan yang kedua berakar pada bidang antropologi, sosiologi, dan linguistik dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan interpretif. Makanya penelitian ini sering disebut dengan penelitian kualitatif; ada juga yang menyebutnya dengan penelitian interpretif atau classroom ecology. Berbeda dengan paradigma pertama yang menganggap kegiatan belajar mengajar itu sebuah proses linear, maka paradigma ini berpadangan bahwa kegiatan belajar mengajar itu sangat kompleks, kontekstual, variatif dimana kelas yang satu berbeda dengan kelas yang lain, sekolah yang satu berbeda dengan sekolah yang lain. Setiap konteks dipandang memiliki keunikan masing-masing, sehingga tidak bisa diperlakukan dengan satu tindakan yang sama.

Tujuan penelitian pada pardigma ini bukan untuk membuktikan efektifitas sebuah tindakan, melainkan untuk memahami dinamika yang terjadi selama proses pembelajaran. Karena tujuannya memahami, maka data yang dikumpulkan lebih banyak dan beragam. Data tersebut bisa berupa catatan jurnal guru, observasi perilaku siswa, catatan harian siswa, dan sebagainya. Data-data tersebut kemudian dikumpulkan untuk dianalisa dan diinterpretasikan, makanya penelitian ini disebut juga interpretive studies.

Sama halnya dengan paradigma pertama, peneliti yang melakukan penelitian ini adalah mereka yang berasal dari lingkup non-sekolah dan bekerjasama dengan guru. Yang membedakan, disini peranan guru sama besarnya dengan peranan peneliti. Karena tujuan penelitiannya adalah untuk memahami dinamika yang terjadi dalam proses pembelajaran, maka perumusan masalah penelitian akan merujuk pada dinamika actual yang terjadi di kelas. Dan pihak yang paling paham akan dinamika ini adalah guru. Maka, peranan guru dalam proses penelitian ini sangat besar. Guru aktif terlibat dalam perumusan masalah, penyusunan desain penelitian, pengumpulan data, dan interpretasinya. Sedangkan pada paradigma pertama, perumusan masalah dilakukan oleh peneliti dengan merujuk pada hasil literature review. Sehingga menurut paradigma ini, guru bukan hanya knowledge recipients, tapi juga knowledge generator.

Temuan penelitian ini tidak bisa digeneralisir sebagaimana penelitian pada paradigma pertama. Menurut penelitian ini, realitas itu terbentuk melalui proses interaksi sosial yang unik di masing-masing konteks. Tidak ada satu realitas tunggal. Sehingga, apa yang berlaku pada satu konteks belum tentu berlaku pada konteks yang lain.
Seorang guru adalah praktisi dalam dunia pendidikan. Melaksanakan serangkaian proses pembelajaran, di dalam ruang maupun luar ruangan kelas. Proses itu dimulai dari sebuah perencanaan dan diakhiri dengan penilaian atau evaluasi.

Penilaian terhadap proses pelaksanaan tugas guru sesungguhnya tidak hanya oleh pihak luar. Dalam hal ini, katakanlah kepala sekolah atau pengawas dari dinas yang terkait. Justru guru sendiri juga berkepentingan dalam melakukan penilaian sendiri.

Penilaian itu ditujukan terhadap proses maupun hasil pembelajaran melalui penelaahan dan penelitian langsung. Artinya, guru bersangkutan menyadari ada masalah dan guru tersebut juga yang akan melakukan tindakan untuk memecahkan masalah pembelajarannya secara mandiri.

Ternyata, guru itu juga seorang peneliti di samping praktisi pendidikan. Penelitian yang dilakukan guru bersifat internal. Dilakukan dalam lingkup kelas dan konteks pembelajaran. Penelitian ini dikenal dengan istilah penelitian tindakan kelas, disingkat PTK. 

Dasar pelaksanaan PTK sangat sederhana. Guru menyadari ada masalah dalam menjalankan proses pembelajaran. Masalah tersebut sangat mengganggu. Selain itu, masalah itu sangat perlu diselesaikan atau dicarikan jalan keluarnya.

Selama ini, guru juga telah menyadari bahwa pembelajaran memiliki berbagai persoalan dan permasalahan. Hanya saja, guru tidak sempat mencatat, mengagendakan, serta mengambil tindakan penyelesaian masalah secara terstruktur dan teradministrasi.

Konsep PTK menghendaki adanya pengagendaan berbagai masalah mengganjal yang dialami oleh guru dalam melaksanakan pembelajaran. Setelah itu dilanjutkan dengan rencana penyelesaian masalah dalam bentuk tertulis maupun tidak.

Kemudian guru mencoba menerapkan tindakan apa yang telah ditetapkan untuk mengatasi masalah. Terakhir, guru merefleksi atau melihat bagaimana hasil tindakan yang telah diterapkan.

Jika masih belum menuntaskan masalah, maka guru perlu menyusun tindakan berikutnya. Akhirnya, PTK itu menjadi sebuah siklus yang berkelanjutan.

Kesimpulannya, PTK itu dilaksanakan secara mandiri oleh guru untuk memperbaiki kualitas proses pembelajaran maupun hasil pembelajaran. PTK tidak sama dengan penelitian pada umumnya dimana tujuannya untuk menguji hipotesis.

Akan tetapi PTK merupakan upaya mandiri untuk menyelesaikan masalah aktual pembelajaran yang dialami oleh masing-masing guru.

Hambatan-hambatan Dalam Penelitian Guru
Penelitian-penelitian yang dilakukan guru selama ini masih minim karena guru kekurangan waktu meneliti akibat waktunya habis untuk mengajar. Hal itu dikatakan Pustakawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Rosa Widyawan.

"Penelitian yang sering ditemukan masih sebatas penelitian tindakan kelas (PTK). Namun persoalan riil yang terjadi di kalangan siswa masih jarang," katanya, di Semarang, Jawa Tengah, Rabu (7/3/2012).

Padahal, kata Rosa, persoalan-persoalan riil yang terjadi di kalangan siswa seperti tawuran, perilaku anak-anak yang membolos justru lebih mengena dan membutuhkan langkah penyelesaian secara optimal melalui penelitian mendalam.

Ia menjelaskan, riset-riset yang dilakukan guru masih sebatas penelitian tindakan (action). Akan tetapi, penelitian yang sifatnya aplikatif belum banyak dilakukan sehingga akan memengaruhi prestasi belajar siswa di sekolah.

"Kalau secara kuantitas, sebenarnya ada sekitar 4.000 an hasil riset guru yang ada di LIPI. Namun secara kualitas dan kontinuitas memang tidak banyak. Akibatnya, riset-riset guru ’mati suri’, tidak berkelanjutan," katanya.

Rosa yang juga aktif meneliti kajian jurnal itu mengemukakan, hasil riset yang dilakukan guru seharusnya masuk dalam jurnal sebagai tempat mengomunikasikan hasil-hasil kajian dengan berbagai pihak untuk ditindaklanjuti.

Menurutnya, gejala-gejala sosial yang terjadi di kalangan siswa, misalnya tawuran, perilaku bolos sekolah, prestasi akademik menurun memerlukan penanganan secara khusus yang tidak mungkin mengandalkan kemampuan umum guru.

"Sebagai contoh profesi dokter, penanganan penyakit diabetes tentunya tidak mungkin mampu dilakukan oleh seluruh dokter, namun dokter yang ahli di bidang itu. Demikian juga kondisinya dengan profesi guru," papar Rosa.

Dari hasil-hasil kajian terhadap gejala sosial di kalangan siswa, lanjut Rosa, ke depannya diharapkan mampu membekali guru dengan keterampilan-keterampilan tertentu untuk mengatasinya secara lebih efektif.

"Tentunya, masalah yang dihadapi akan berbeda dan semakin berkembang. Ini memerlukan riset guru untuk membantu menemukan solusi pemecahan masalah. Namun, yang terpenting untuk mengawalinya guru harus ’melek’ informasi," kata Rosa.

Sumber-sumber







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Geliat Ide Guru Peneliti

Tumbuhnya Gagasan Seputar   Guru Peneliti Untuk meningkatkan kualitas tenaga pendidik, guru yang sudah memperoleh sertifikasi dan tun...