Tumbuhnya
Gagasan Seputar Guru Peneliti
Untuk meningkatkan kualitas tenaga pendidik, guru yang
sudah memperoleh sertifikasi dan tunjangan guru akan tetap dipantau. Pemantauan
termasuk juga pemberikan pelatihan metode pengajaran, materi pengajaran, dan
melakukan penelitian.
Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo menilai
perlu ada kebijakan yang mendorong guru dan dosen untuk mengembangkan diri
dengan melakukan penelitian. ”Pelan-pelan dirumuskan sambil menunggu proses
sertifikasi selesai,” kata Bambang Sudibyo seusai meresmikan perluasan perpustakaan
Departemen Pendidikan Nasional, Kamis (8/10).
Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia
(PGRI) Unifah Rosyidi, Jumat (9/10), mengingatkan perlunya pengawasan kinerja
guru.
”Peningkatan mutu dan profesionalisme guru tidak boleh
berhenti pada program sertifikasi. Kepala sekolah juga bisa memperketat
rekomendasi kenaikan pangkat jika kinerja guru tidak maksimal,” katanya.
Rektor Universitas Indonesia Prof Dr Gumilar Rusliwa
Somantri mengingatkan komitmen meningkatkan kualitas guru tidak bisa hanya
mengandalkan tekad pribadi saja, tetapi juga perlu ada dorongan dari sekolah
dan pemerintah.
”Sertifikasi itu tidak cukup hanya tes evaluasi, tetapi
tetap harus ada pelatihan rutin sehingga akan terlihat kekuatan dan kelemahan masing-masing,”
ujar Gumilar.
Gumilar mengusulkan ada semacam pemberian penghargaan
dan sanksi hukuman (reward and punishment) yang jelas terhadap guru. Secara
bertahap guru diawasi oleh kepala sekolah dan kepala sekolah diawasi oleh
pengawas sekolah.
Senior Consultant Putera Sampoerna School of
Education, S Gopinathan, mengatakan, meningkatkan kualitas guru antara lain
dengan menciptakan tradisi penelitian. Berbagai persoalan seputar pendidikan
tidak kunjung jelas karena minimnya penelitian kependidikan. ”Selama ini
sebagian besar tenaga pendidik hanya memusatkan perhatian pada peningkatan
kemampuan mengajar saja,” ujarnya. Padahal tenaga pendidik harus tahu masalah
yang dihadapi anak didik.
Penelitian-penelitian yang dilakukan guru selama ini
masih minim karena guru kekurangan waktu meneliti akibat waktunya habis untuk
mengajar. Hal itu dikatakan Pustakawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI), Rosa Widyawan.
"Penelitian yang sering ditemukan masih sebatas
penelitian tindakan kelas (PTK). Namun persoalan riil yang terjadi di kalangan
siswa masih jarang," katanya, di Semarang, Jawa Tengah, Rabu (7/3/2012).
Padahal, kata Rosa, persoalan-persoalan riil yang
terjadi di kalangan siswa seperti tawuran, perilaku anak-anak yang membolos
justru lebih mengena dan membutuhkan langkah penyelesaian secara optimal
melalui penelitian mendalam.
Ia menjelaskan, riset-riset yang dilakukan guru masih
sebatas penelitian tindakan (action). Akan tetapi, penelitian yang sifatnya
aplikatif belum banyak dilakukan sehingga akan memengaruhi prestasi belajar
siswa di sekolah.
"Kalau secara kuantitas, sebenarnya ada sekitar
4.000 an hasil riset guru yang ada di LIPI. Namun secara kualitas dan
kontinuitas memang tidak banyak. Akibatnya, riset-riset guru ’mati suri’, tidak
berkelanjutan," katanya.
Rosa yang juga aktif meneliti kajian jurnal itu
mengemukakan, hasil riset yang dilakukan guru seharusnya masuk dalam jurnal
sebagai tempat mengomunikasikan hasil-hasil kajian dengan berbagai pihak untuk
ditindaklanjuti.
Menurutnya, gejala-gejala sosial yang terjadi di
kalangan siswa, misalnya tawuran, perilaku bolos sekolah, prestasi akademik
menurun memerlukan penanganan secara khusus yang tidak mungkin mengandalkan
kemampuan umum guru.
"Sebagai contoh profesi dokter, penanganan
penyakit diabetes tentunya tidak mungkin mampu dilakukan oleh seluruh dokter,
namun dokter yang ahli di bidang itu. Demikian juga kondisinya dengan profesi
guru," papar Rosa.
Dari hasil-hasil kajian terhadap gejala sosial di
kalangan siswa, lanjut Rosa, ke depannya diharapkan mampu membekali guru dengan
keterampilan-keterampilan tertentu untuk mengatasinya secara lebih efektif.
"Tentunya, masalah yang dihadapi akan berbeda dan
semakin berkembang. Ini memerlukan riset guru untuk membantu menemukan solusi pemecahan
masalah. Namun, yang terpenting untuk mengawalinya guru harus ’melek’
informasi," kata Rosa.
Action
Research penelitian tindakan, para taraf dunia sesungguhnya bukan kegiatan
baru. Hal ini setidaknya telah dilakukan para profesional Amerika Serikat sejak
tahun 1940-an. Penelitian ini, umumnya digunakan mereka untuk memecahkan
masalah-masalah teknis yang dihadapi mereka di lapangan.
Penelitian
dimaksud, sifatnya
sederhana. Mengapa? Karena penelitian ini, umumnya hanya berisi soal
perencanaan tentang sesuatu yang bersipat teknis. Penelitian tindakan [action
research] hanya memuat soal perencanaan teknis, lalu direfleksi dan kemudian disusunlah
laporan. Isi laporan itu, memuat tentang cara menyelesaikan soal teknis yang
ditemukan mereka di lapangan.
Penelitian
Tindakan, di Indonesia, mulai ramai dalam beberapa tahun terakhir. Dinamika
penelitian ini, tampak semakin semarak, khususnya di kalangan guru, ketika
penelitian tindakan muncul sebagai persyaratan bagi guru unruk naik pangkat
misalnya. Maka, sejak saat itu, penelitian tindakan yang sebelumnya, biasa aja,
mejadi ramai. Dalam kasus tertentu, malah seolah terjadi distorsi. Misalnya ada
anggapan bahwa Penelitian tindakan, seolah hanya Penelitian Tindakan Kelas
[PTK].
Tidak
salah memang, tetapi kurang tepat. Mengapa? Sebab PTK adalah bagian dari
penelitian tindakan. Masih banyak penelitian tindakan lain, yang tidak termasuk
ke dalam Penelitian Tindakan Kelas. Lepas dari berbagai soal dimaksud, apa
sesungguhnya penelitian tindakan kelas. Berikut adalah gambaran umum tentang
PTK.
Landasan Guru Menyusun PTK
Persoalannya
sekarang, mengapa guru harus meneliti? Keharusan ini, tampak semakin serius
ketika pemerintah mengeluarkan UU Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen.
UU ini, disusul dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2006 tentang
standarisasi pendidikan. Belakangan, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur
Negara, juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah. PP dimaksud, yakni Peraturan Nomor 16 tahun 2009 tentang Jabatan
Fungsional Guru dan Angka Kreditnya.
Melalui
UU dan Peraturan di atas, guru tidak hanya mengajar. Ia dituntut melakukan
langkah-langkah strategis untuk meningkatkan kualitas dirinya dan secara
otomatis kualitas pembelajarannya. Fungsi dan peran guru, dengan demikian, juga
menjadi berubah.
Dengan
nalar di atas, langkah-langkah yang harus dilakukan guru adalah sebagai
berikut: 1). Melaksanakan pengembangan diri melalui kegiatan diklat fungsional
dan kegiatan kolektif guru; 20. Melaksanakan publikasi ilmiah hasil penelitian
atau gagasan inovatif, publikasi buku teks pembelajaran/modul dan; 3). Pelaksanaan karya inovatif [penemuan
penelitian tepat guna, penemuan/penciptaan atau pengembangan karya seni,
pembuatan/pemodifikasian alat peraga, penyusunan standar dan pedoman.
Tujuan Penelitian
Dalam
skenario UU dan Peraturan di atas, sebenarnya ada dua jenis penelitian yang
semestinya dilakukan guru. Pertama. Penelitian Tindakan Kelas [clasroom action
research], dan; Kedua, penelitian untuk meningkatkan kualitas tujuan
instruksional [research for instructional quality improvement]. Kedua
penelitian ini memiliki tujuan penelitian yang sama, yakni: 1) Memperbaiki
proses instruksional dan kurikulum, 2) Meningkatkan kualitas pembelajaran di
sekolah, 3) Pengembangan staff [staff develovement].
Jadi,
penelitian yang dilakukan guru, semata-mata bukan untuk meningkatkan
pengembangan keilmuan yang sipatnya umum, tetapi, lebih bersipat teknis pada
apa yang menjadi kewajibannya sebagai pendidik dan tenaga kependidikan.
Manfaat Penelitian
Manfaat
yang dapat diperoleh guru ketika melakukan penelitian tindakan kelas adalah
sebagai berikut: 1) Meningkatkan
kompetensi guru dalam mengatasi masalah pembelajaran; 2) Meningkatkan sikap profesional
guru; 3) Meningkatkan
interaksi antara siswa dan guru; 4) Meningkatkan kualitas penggunaan
media dan alat bantu pembelajaran di dalam kelas.
Apa Yang Harus Diteliti Guru
Mencermati
tujuan dan manfaat penelitian tindakan yang dilakukan guru, maka, sebaiknya
ketika guru akan melakukan penelitian tindakan kelas, memperhatikan hal-hal
sebagai berikut: 1) Penelitian mesti fokus pada masalah siswa ketika menghadapi
masalah di dalam kelas, 2) Penelitian mesti fokus pada desain dan strategi
pembelajaran guru di dalam kelas, 3) Penelitian mesti fokus pada pengujian alat
bantu, media dan sumber pembelajaran di dalam kelas, 4) Fokus pada sistem
evaluasi proses pembelajaran dan hasil belajar, 5) Fokus pada pengembangan
pribadi peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan.
Dengan
berbagai deskripsi di atas, guru diharapkan fokus melakukan penyelesaian pada
sejumlah hambatan yang dihadapinya di dalam kelas. By. Prof. Cecep Sumarna Sederhananya, penelitian guru adalah inkuisi sistemati dan
intensional yang dilakukan oleh guru. Teacher Research merupakan istilah umum,
Umbrella term, yang menaungi berbagai macam penelitian yang dilakukan oleh
guru. Istilah lain yang juga popular adalah Action research, yakni riset
komparatif atas berbagai kondisi dan dampak dari beragam tindakan sosial, dan
riset yang diarahkan kepada tindakan sosial. Apapun itu namanya, penelitian
guru merupakan salah satu bentuk professional development dengan harapan adanya
peningkatan kualitas mengajar guru yang pada akhirnya akan meningkatkan
kualitas proses belajar siswa. Terus dalam praktiknya, tujuan penelitian itu
apa? Apakah untuk membuktikan kehebatan sebuah strategi, metode, atau bahan
ajar dalam meningkatkan prestasi siswa (Prestasi = nilai), atau untuk memahami
misteri dan dinamika yang terjadi dalam proses pembelajaran sehingga guru
semakin mamahami konteks pembelajaran yang dijalankan?
Selama puluhan tahun, belajar dan pembelajaran yang
dilakukan guru telah menjadi topik penelitian yang menarik dikalangan para
ilmuwan. Dalam perkembangannya, ada dua paradigma yang mendominasi penelitian
bidang pendidikan, khususnya pembelajaran. Paradigma yang pertama disebut
dengan process product research, yakni penelitian yang bertujuan untuk
mengeksplorasi efektititas kegiatan pembelajaran tertentu dengan cara
menghubungkan perilaku guru atau proses mengajar guru dengan perilaku siswa
sebagai hasil belajar.
Paradigma ini memandang kegiatan pembelajaran sebagai
sebuah proses cause and effect dimana perilaku guru dianggap sebagai penyebab
munculnya perilaku siswa. Strategi mengajar yang guru terapkan akan berdampak
pada prestasi belajar siswa. Jadi, paradigma ini lebih menekankan pada tindakan
guru, bukan bagaimana guru memahami proses pembelajaran. Teaching yang guru
jalankan menjadi perhatian utama dibanding learning yang siswa lakukan.
Dalam praktiknya, penelitian guru yang merujuk pada
paradigma ini tidak dilakukan oleh guru, melainkan oleh peneliti yang berasal
dari luar lingkup sekolah, biasanya dosen dari kampus. Meskipun dosen dan guru
bekerjasama, dalam praktiknya, dosenlah yang lebih dominan karena dosen yang
menentukan segala sesuatunya terkait dengan riset tersebut. Sementara guru
hanyalah mitra kerja yang tugasnya hanya menjalankan apa yang sudah didisain
oleh dosen. Karean tujuannya untuk pembuktian, metode penelitian yang umum
digunakan adalah experimental quantitative.
Paradigma ini menganggap guru adalah bagian dari objek
yang harus diteliti. Karena guru objek, maka peranan guru tidak lebih dari
sekedar teknisi yang tugasnya hanya menerapkan apa yang peneliti tetapkan. Guru
dipandang sebagai praktisi murni yang tak memiliki kapasitas untuk menjadi
knowledge generator. Temuan dari penelitian ini adalah pengetahuan baru berupa
bukti akan efektifitas tindakan tertentu tentang praktik pembelajaran dan tugas
guru adalah menerima dan menerapkan hasil temuan tersebut.
Karena metode penelitian ini experimental quantitative
dengan tujuan menguji hipotesa dan didesain dengan pemilihan sampel yang sangat
seksama, dengan tujuan agar sampel yang digunakan mampu mewakili populasi, maka
peneliti sering mengkalim bahwa hasil temuannya bisa digeneralisir, yakni bisa
diterapkan pada lingkup yang berbeda. Jika hasil penelitian menunjukan bahwa
strategi belajar A mampu meningkatan kemampuan siswa di kelas B, maka strategi
itupun dianggap akan menghasilkan efetifitas yang sama ketika diterapkan di
kelas C, D, dan yang lainnya.
Paradigma penelitian pendidikan yang kedua berakar
pada bidang antropologi, sosiologi, dan linguistik dengan menggunakan
pendekatan kualitatif dan interpretif. Makanya penelitian ini sering disebut
dengan penelitian kualitatif; ada juga yang menyebutnya dengan penelitian
interpretif atau classroom ecology. Berbeda dengan paradigma pertama yang
menganggap kegiatan belajar mengajar itu sebuah proses linear, maka paradigma
ini berpadangan bahwa kegiatan belajar mengajar itu sangat kompleks,
kontekstual, variatif dimana kelas yang satu berbeda dengan kelas yang lain,
sekolah yang satu berbeda dengan sekolah yang lain. Setiap konteks dipandang
memiliki keunikan masing-masing, sehingga tidak bisa diperlakukan dengan satu
tindakan yang sama.
Tujuan penelitian pada pardigma ini bukan untuk
membuktikan efektifitas sebuah tindakan, melainkan untuk memahami dinamika yang
terjadi selama proses pembelajaran. Karena tujuannya memahami, maka data yang
dikumpulkan lebih banyak dan beragam. Data tersebut bisa berupa catatan jurnal
guru, observasi perilaku siswa, catatan harian siswa, dan sebagainya. Data-data
tersebut kemudian dikumpulkan untuk dianalisa dan diinterpretasikan, makanya
penelitian ini disebut juga interpretive studies.
Sama halnya dengan paradigma pertama, peneliti yang
melakukan penelitian ini adalah mereka yang berasal dari lingkup non-sekolah
dan bekerjasama dengan guru. Yang membedakan, disini peranan guru sama besarnya
dengan peranan peneliti. Karena tujuan penelitiannya adalah untuk memahami
dinamika yang terjadi dalam proses pembelajaran, maka perumusan masalah
penelitian akan merujuk pada dinamika actual yang terjadi di kelas. Dan pihak
yang paling paham akan dinamika ini adalah guru. Maka, peranan guru dalam
proses penelitian ini sangat besar. Guru aktif terlibat dalam perumusan
masalah, penyusunan desain penelitian, pengumpulan data, dan interpretasinya.
Sedangkan pada paradigma pertama, perumusan masalah dilakukan oleh peneliti
dengan merujuk pada hasil literature review. Sehingga menurut paradigma ini,
guru bukan hanya knowledge recipients, tapi juga knowledge generator.
Temuan penelitian ini tidak bisa digeneralisir
sebagaimana penelitian pada paradigma pertama. Menurut penelitian ini, realitas
itu terbentuk melalui proses interaksi sosial yang unik di masing-masing
konteks. Tidak ada satu realitas tunggal. Sehingga, apa yang berlaku pada satu
konteks belum tentu berlaku pada konteks yang lain.
Seorang guru adalah praktisi dalam dunia pendidikan.
Melaksanakan serangkaian proses pembelajaran, di dalam ruang maupun luar
ruangan kelas. Proses itu dimulai dari sebuah perencanaan dan diakhiri
dengan penilaian atau evaluasi.
Penilaian terhadap proses pelaksanaan tugas guru
sesungguhnya tidak hanya oleh pihak luar. Dalam hal ini, katakanlah kepala
sekolah atau pengawas dari dinas yang terkait. Justru guru sendiri juga
berkepentingan dalam melakukan penilaian sendiri.
Penilaian itu ditujukan terhadap proses maupun hasil
pembelajaran melalui penelaahan dan penelitian langsung. Artinya, guru
bersangkutan menyadari ada masalah dan guru tersebut juga yang akan melakukan
tindakan untuk memecahkan masalah pembelajarannya secara mandiri.
Ternyata, guru itu juga seorang peneliti di samping
praktisi pendidikan. Penelitian yang dilakukan guru bersifat internal.
Dilakukan dalam lingkup kelas dan konteks pembelajaran. Penelitian
ini dikenal dengan istilah penelitian tindakan kelas, disingkat PTK.
Dasar pelaksanaan PTK sangat sederhana. Guru menyadari
ada masalah dalam menjalankan proses pembelajaran. Masalah tersebut sangat
mengganggu. Selain itu, masalah itu sangat perlu diselesaikan atau dicarikan
jalan keluarnya.
Selama ini, guru juga telah menyadari bahwa pembelajaran
memiliki berbagai persoalan dan permasalahan. Hanya saja, guru tidak sempat
mencatat, mengagendakan, serta mengambil tindakan penyelesaian masalah secara
terstruktur dan teradministrasi.
Konsep PTK menghendaki adanya pengagendaan berbagai
masalah mengganjal yang dialami oleh guru dalam melaksanakan pembelajaran. Setelah
itu dilanjutkan dengan rencana penyelesaian masalah dalam bentuk tertulis
maupun tidak.
Kemudian guru mencoba menerapkan tindakan apa yang
telah ditetapkan untuk mengatasi masalah. Terakhir, guru merefleksi atau
melihat bagaimana hasil tindakan yang telah diterapkan.
Jika masih belum menuntaskan masalah, maka guru perlu
menyusun tindakan berikutnya. Akhirnya, PTK itu menjadi sebuah siklus yang
berkelanjutan.
Kesimpulannya, PTK itu dilaksanakan secara mandiri
oleh guru untuk memperbaiki kualitas proses pembelajaran maupun hasil
pembelajaran. PTK tidak sama dengan penelitian pada umumnya dimana tujuannya
untuk menguji hipotesis.
Akan tetapi PTK merupakan upaya mandiri untuk
menyelesaikan masalah aktual pembelajaran yang dialami oleh masing-masing guru.
Hambatan-hambatan
Dalam Penelitian Guru
Penelitian-penelitian
yang dilakukan guru selama ini masih minim karena guru kekurangan waktu
meneliti akibat waktunya habis untuk mengajar. Hal itu dikatakan Pustakawan
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Rosa Widyawan.
"Penelitian yang sering ditemukan masih sebatas
penelitian tindakan kelas (PTK). Namun persoalan riil yang terjadi di kalangan
siswa masih jarang," katanya, di Semarang, Jawa Tengah, Rabu (7/3/2012).
Padahal, kata Rosa, persoalan-persoalan riil yang
terjadi di kalangan siswa seperti tawuran, perilaku anak-anak yang membolos
justru lebih mengena dan membutuhkan langkah penyelesaian secara optimal
melalui penelitian mendalam.
Ia menjelaskan, riset-riset yang dilakukan guru masih
sebatas penelitian tindakan (action). Akan tetapi, penelitian yang sifatnya
aplikatif belum banyak dilakukan sehingga akan memengaruhi prestasi belajar
siswa di sekolah.
"Kalau secara kuantitas, sebenarnya ada sekitar
4.000 an hasil riset guru yang ada di LIPI. Namun secara kualitas dan
kontinuitas memang tidak banyak. Akibatnya, riset-riset guru ’mati suri’, tidak
berkelanjutan," katanya.
Rosa yang juga aktif meneliti kajian jurnal itu
mengemukakan, hasil riset yang dilakukan guru seharusnya masuk dalam jurnal
sebagai tempat mengomunikasikan hasil-hasil kajian dengan berbagai pihak untuk
ditindaklanjuti.
Menurutnya, gejala-gejala sosial yang terjadi di
kalangan siswa, misalnya tawuran, perilaku bolos sekolah, prestasi akademik
menurun memerlukan penanganan secara khusus yang tidak mungkin mengandalkan
kemampuan umum guru.
"Sebagai contoh profesi dokter, penanganan
penyakit diabetes tentunya tidak mungkin mampu dilakukan oleh seluruh dokter,
namun dokter yang ahli di bidang itu. Demikian juga kondisinya dengan profesi
guru," papar Rosa.
Dari hasil-hasil kajian terhadap gejala sosial di
kalangan siswa, lanjut Rosa, ke depannya diharapkan mampu membekali guru dengan
keterampilan-keterampilan tertentu untuk mengatasinya secara lebih efektif.
"Tentunya, masalah yang dihadapi akan berbeda dan
semakin berkembang. Ini memerlukan riset guru untuk membantu menemukan solusi
pemecahan masalah. Namun, yang terpenting untuk mengawalinya guru harus ’melek’
informasi," kata Rosa.
Sumber-sumber
https://mangusepblog.wordpress.com/2016/07/29/penelitian-guru-untuk-pembuktian-atau-untuk-pemahaman/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar