Rabu, 14 Februari 2018

Dasar-dasar Pendidikan Karakter Dalam Peribahasa Jawa

 Oleh: Iqbal Nurul Azhar 

Ada beberapa alasan mengapa tanah Jawa sangat dikenal. Tanah Jawa dikenal sebagai tanah yang makmur. Sejak dahulu kala, tanah Jawa menjadi pusat diplomasi internasional bagi banyak penduduk nusantara maupun penduduk dunia. Jawa tidak hanya dikenal karena potensi pulaunya saja yang luar biasa. Masyarakat yang tinggal di tanah tersebutpun (orang Jawa), juga sangat tersohor karena selalu tampil terdepan dalam kepemimpinan nasional Indonesia. Budaya Jawa, utamanya falsafah budaya yang dibawa pemimpin-pemimpin Jawa tersebut, memberi pengaruh yang kuat pada karakter hidup bangsa Indonesia secara keseluruhan. Kita ambil contoh “bhinneka tunggal ika,” ”jer basuki mawa beya,” “rawe-rawe rantas, malang-malang putung” dan ”tut wuri handayani” dikenal secara luas dan digunakan secara umum dalam dunia sosial maupun pendidikan di Indonesia.

Berbicara tentang falsafah Jawa, falsafah Jawa tersebar dalam berbagai dimensi kehidupan, seperti: etika dan tata karma pergaulan, hubungan orang tua dan anak, hukum, keadilan dan kebenaran, ilmu pengetahuan dan pendidikan, hubungan sosial, kekerabatan dan gotong royong, kepercayaan dan religiositas, kewaspadaan dan introspeksi dan masih banyak lagi.
Diantara falsafah-falsafah tersebut, falsafah kepemimpinan adalah falsafah yang menonjol dan dikenal luas oleh masyarakat Nusantara. Ini tidak mengherankan mengingat masyarakat Jawa gemar memimpin dan ketika orang Jawa memimpin, mereka seringkali menyatakan menggunakan falsafah Jawa sebagai pedoman kepemimpinan mereka. Nilai-nilai kepemimpinan tersebutpun juga diajarkan dan dipegang teguh di semua lapisan mayarakat, mulai dari  tua, muda, laki-laki, perempuan, bangsawan dan rakyat jelata.


Terlepas apakah mereka benar-benar menggunakan falsafah tersebut dalam kepemimpinan mereka atau tidak, budaya Jawa memiliki banyak sekali falsafah tentang bagaimana menjadi seorang pemimpin yang baik. Beberapa diantaranya adalah falsafah kepemimpinan astabratha, falsafah kepemimpinan tribrata, falsafah kepemimpinan Gajah Mada, falsafah kepemimpinan Sultan Agung yang diungkapkan lewat Serat Sastra Gendhing serta falsafah kepemimpinan yang muncul dari tradisi masyarakat (aksioma), digunakan oleh masyarakat dan berlaku juga untuk masyarakat. Falsafah ini muncul dalam bentuk paribasan Jawa dan banyak menginspirasi orang Jawa untuk memimpin.
Terdapat beberapa paribasan Jawa yang menunjuk sikap positif seorang pemimpin diantaranya sifat pemimpin itu harus dapat menempatkan diri seperti yang ada dalam paribasan ”ajining diri saka pucuke lathi, ajining raga saka busana,” Pemimpin itu harus mampu bersikap tenang dalam menghadapi masalah yang di tunjukkan oleh paribasan aja gumunan, aja kagetan lan aja dumeh. Pemimpin itu harus memiliki sikap dewasa dan legawa yang diwujudkan dalam paribasan ”addamara tanggal pisan kapurnaman.” Pemimpin itu harus berani berbuat baik, yang diwujudkan dalam paribasan ”bener ketenger, becik ketitik, ala ketara”. Pemimpin itu harus mampu bersikap adil, yang diwujudkan dalam paribasan ”denta denti kusuma warsa sarira cakra”. Pemimpin itu harus bersedia untuk mengalah yang diwujudkan dalam paribasan ”wani ngalah luhur  wekasane”. Pemimpin itu harus menjaga kata-kata yang ditunjukkan dalam paribasan ”aja ngomong waton, nanging ngomonga nganggo waton”. Pemimpin itu jangan jumawa dan merasa serba bisa yang diwujudkan dalam paribasan ”aja rumangsa bisa, nanging bisa rumangsa”. Pemimpin itu tidak boleh tergesa-gesa dalam mengambil keputusan yang diwujudkan dalam paribasan ”kebat kliwat, ngangsa marakaka brabala”, dan masih banyak lagi sifat-sifat baik kepemimpinan yang ditunjukkan dalam paribasan Jawa.

Sayangnya, meskipun orang Jawa memiliki banyak falsafah aksiomal kepemiminan yang agung, namun ada banyak masalah terkait tentang gaya kepemimpinan jawa.  Seringnya orang Jawa memimpin bangsa Indonesia dengan kualitas pemerintahan yang kurang, menyebabkan beberapa bagian masyarakat (utamanya masyarakat yang nonJawa) menganggap gaya kepemimpinan Jawa gagal membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Bagian masyarakat ini juga menganggap, selama kepemimpinan Jawa, Indonesia tidak pernah keluar dari masalah kemiskinan, pengangguran, kekacauan, korupsi, kolusi dan nepotisme. Konsep kepemimpinan titisan dewa dari orang Jawa yang antikritik, merasa benar sendiri dan merasa sebagai sumber kebenaran, dianggap sebagai penyebab munculnya sebuah kondisi dimana kelompok elit, pemimpin beserta kroninya berada di puncak kekuasaan dengan berbagai fasilitas yang mewah, sementara rakyat jelata berada di bawah dalam kondisi yang mengenaskan. Selain itu, gaya kepemimpinan Jawa yang elitis serta hanya terpaku pada satu lingkaran kekuatan, dianggap tidak beritikad baik pada rakyat karena selalu menyetir rakyat agar selalu di bawah dan selamanya tetap di bawah.

Kritik dari masyarakat nonJawa terhadap gaya kepemimpinan Jawa juga menyebut bahwa falsafah Gajah Mada nampaknya terlalu dipuja rakyat Jawa sehingga akan selalu menguntungkan pemimpin Jawa yang mendapatkan sokongan dari rakyat Jawa yang jumlahnya memang besar. Rakyat Jawa juga tidak perduli walaupun pemimpin tersebut seorang yang gagal. Yang penting ia adalah orang Jawa, tak perduli ratusan juta rakyat akan menderita karena salah dalam memilih pemimpin yang tidak ideal.

Kritik-kritik yang muncul di atas terhadap gaya kepemimpinan Jawa pada akhirnya mengerucut menjadi sebuah simpulan yang menyatakan bahwa gaya kepemimpinan Jawa telah gagal membangun negeri ini. Ini mungkin sebuah pernyataan apriori tertinggi untuk ditanggapi masyarakat Jawa berkaitan dengan gaya kepemimpinan mereka. Dalam konteks humaniora, ini jelas sangat menarik untuk didiskusikan.

Penulis melalui artikel ini tidak bermaksud untuk mendukung atau menentang kritik-kritik yang muncul terhadap gaya kepemimpinan Jawa. Butuh studi yang demikian panjang untuk dapat menyelipkan sebuah simpulan dalam artikel ini yang dengan jelas menyatakan bahwa gaya kepemimpinan Jawa gagal atau sebaliknya sukses diterapkan di Republik ini. Banyak hal yang perlu dipertimbangkan untuk dapat sampai pada simpulan tersebut.

Penulis hanya dapat memberikan sebuah hipotesis bahwa pada dasarnya, seburuk apapun gaya kepemimpinan sebuah suku, yang salah sebenarnya adalah individu suku tersebut, bukan falsafah kepemimpinannya. Tidak ada satupun falsafah kepemimpinan sebuah suku di Nusantara ini yang mengajarkan untuk menjadi pemimpin yang buruk. Hanya saja, dalam beberapa kasus, beberapa gelintir pemimpin yang berasal dari sebuah suku bangsa dijumpai melenceng dari jalan lurus falsafah kepemimpinannya. Karena pemimpin-pemimpin yang buruk ini muncul sebagai representasi suku bangsanya, akhirnya keburukan individual pemimpin ini digeneralisasikan menjadi keburukan komunal. Suku bangsa yang direpresentasikan, beserta falsafah kepemimpinan yang dianutnyapun ikut pula mendapat predikat buruk. Padahal belum tentu demikian.

Sebagai contoh, karena fokus diskusi ini adalah hubungan antara pemimpin dari Jawa dan falsafah aksiomalnya, maka kita tidak dapat menyatakan bahwa falsafah aksiomal Jawa adalah buruk hanya karena sikap dari beberapa gelintir pemimpin Jawa yang buruk. Yang salah adalah individu pemimpin penganut falsafah tersebut karena bisa jadi meskipun ia orang Jawa, ia tidak mengamalkan falsafah-falsafah tersebut, dan andaikata ia mengamalkan, ia mungkin mengamalkannya sepotong-sepotong atau dengan amalan yang penuh penyimpangan.  Kita dapat melihat beberapa contoh tidak diamalkannya falsafah kepemimpinan Jawa (tentu saja dalam paribasan) pada beberapa kasus faktual kepemimpinan nasional berikut:

Keberpihakan Soekarno pada komunis telah menyebabkan hilangnya nyawa sekitar 1 juta nyawa anak bangsa secara sia-sia. Ia dapat dibilang gagal dalam perbaikan ekonomi, menciptakan lapangan pekerjaan, kesejahteraan rakyat dan keamanan karena terlalu fokus pada politik yang terlalu mengarah ke kiri. Ia tidak adil dalam berpihak. Dalam hal ini, Sukarno mungkin dapat dikatakan telah melupakan falsafah denta denti kusuma warsa sarira cakra. Sukarno juga memerangi dan membunuh para pengkritik (PRRI, Dewan Banteng, Natsir, Hamka dll.), dan bekerjasama dengan  pihak yang merongrong negara (PKI) padahal yang jelas-jelas merongrong adalah PKI. Pemutarbalikan kenyataan tentang mana pihak  yang  buruk dan mana pihak yang baik oleh Sukarno sesuai dengan paribasan kunthul diunekaku dhandhang, dhandhang diunekake kuntul.
Keengganan Soeharto untuk memerangi musuh bangsa yang sebenarnya yaitu KKN, telah menjadikan bangsa dan negara ini menjadi miskin. Soeharto hanya tegas terhadap musuh-musuh politiknya. Ia ditengarai melenyapkan para pengkritiknya dengan cara menjadikan mereka narapidana politik atau dengan cara-cara lainnya. Ia juga diyakini berupaya melanggengkan kekuasaan di negeri ini dengan cara menyapu bersih orang-orang yang berani menentangnya. Ini cenderung identik dengan situasi melik ngendhong lali. Ia juga oleh sebagian besar masyarakat dianggap gagal dalam perbaikan ekonomi, serta dalam menyantuni rakyat. Dalam konteks ini, nyata sekali ia tidak menerapkan paribasan curiga manjing warangka, warangka manjing curiga.
Keragu-raguan Gusdur secara tidak langsung dianggap telah menyebabkan kematian ratusan umat Islam di Poso. Gusdur tegas dalam melindungi kaum minoritas namun di lain pihak menzalimi hak-hak golongan mayoritas. Gusdur dikenal tidak suka diritik, merasa benar sendiri dan merasa sebagai sumber kebenaran. Hal yang paling menonjol dari Gusdur adalah seringnya ia mengeluarkan pernyataan yang kadang membingungkan seperti: anggota DPR bagaikan kumpulan anak-anak TK, Assalamu’alaikum boleh diganti dengan selamat pagi, dan pernyataan kontroversial lainnya. Terlepas benar atau tidaknya pernyataan tersebut dilontarkan Gusdur, kegemarannya membuat pernyataan provokatif jelas bertentangan dengan paribasan aja ngomong waton, nanging ngomonga nganggo waton.  Selain hal di atas, Gusdur juga dikenal cepat dalam memutuskan masalah tanpa berpikir dengan cermat. Ini dapat dilihat dari usahanya untuk membekukan DPR yang pada akhirnya menurunkan Gusdur dari kursi kepresidenan. Keengganan Gusdur berpikir matang tidak sejalan dengan paribasan kebat kliwat, ngangsa marakaka brabala.

Kelalaian Megawati telah membuat BUMN dijual kepada asing dengan harga dan waktu yang tidak transparan. Ia juga dinilai tidak terlalu berhasil untuk memperbaiki ekonomi, menciptakan lapangan pekerjaan, mensejahterakan rakyat dan meningkatkan keamanan. Hal yang paling mencolok dari Megawati adalah keengganannya untuk mengakui kekalahannya dalam Pemilu oleh mantan bawahannya yaitu SBY. Inilah yang mengakibatkan Megawati dilabeli kesan minus karena secara kualitas tidak memiliki sifat wani ngalah luhur wekasane.
Keragu-raguan dan kelambanan SBY membuat kasus buaya vs cicak yang mengungkap berbagai kebobrokan di tanah air menjadi bertele-tele. Demikian pula kasus Century, BLBI, kriminalisasi KPK, kasus mafia pajak dan sebagainya. SBY tahu, jika ia secara terang-terangan bersikap tegas pada para koruptor dan kriminal lainnya, akan banyak lawan politik yang berusaha melawannya. SBY tidak berani bersikap bener ketenger, becik ketitik, ala ketara karena terlalu memikirkan akan image dan posisinya di masa depan. Hal-hal di atas adalah contoh tidak diamalkannya falsafah kepemimpinan Jawa oleh pemimpin-pemimpin dari Jawa.

Jika masyarakat Jawa ingin tetap memimpin negeri ini, tidak bisa tidak mereka harus kembali menengok akar budaya mereka. Salah satunya dengan berusaha meresapi makna-makna di balik aksioma paribasan. Jika hal ini dilakukan, niscaya, perilaku pemimpin Jawa akan terjaga dan krisis kepemimpinan yang terjadi pada bangsa ini akan berakhir. Kita tidak akan lagi mendapatkan pemimpin Jawa yang pinter nanging keblinger atau pemimpin Jawa yang lali marang asale di masa yang akan datang. (Dirangkum dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Geliat Ide Guru Peneliti

Tumbuhnya Gagasan Seputar   Guru Peneliti Untuk meningkatkan kualitas tenaga pendidik, guru yang sudah memperoleh sertifikasi dan tun...